Hari ini saya menemukan Pasar Papringan di Facebook. Dan sekali
mengunjungi page-nya, saya langsung jatuh cinta pada konsep kembali
harmonis dengan alam demi revitalisasi desa yang diusung penggagas pasar
unik ini. Keren! Saat melihat foto-fotonya, alam bawah sadar saya
tergiring ke masa-masa waktu saya kecil, bermain bersama teman-teman di
bawah bambu-bambu yang tumbuh lebat di belakang rumah.
Masih jelas di ingatan saya, di bawah daun-daun bambu yang rindang
persis seperti di Pasar Papringan itu, kami anak-anak lelaki maupun
perempuan bermain bersama, main prau gethek yang kami bangun dengan pohon kelapa yang baru saja ditebang. Sisa batang kelapa yang masih utuh bulat (glugu) kami pakai sebagai roda slidernya, kemudian di atasnya kami taruh "usuk-usuk"
yang dari glugu juga. Kemudian kami naik di atasnya. Lalu dengan
sebatang galah bambu, seorang anak laki-laki yang bertubuh paling tambun
mengemudikan "perahu" itu meluncur ke kanan dan ke kiri.
Hmmm, sementara itu, anak-anak perempuan sibuk membuat kue yang berbahan
adonan tanah dan air. Mereka cetak motif capnya dengan batang daun
pisang yang diiris simetris. Kemudian mereka keringkan dengan terik
matahari, setelah kering, kue pun jadi. (Proses pembuatan kue yang lebih
lama melibatkan pembakaran juga, supaya terlihat merah maroon cantik).
Uang yang kami pakai biasanya kami pakai daun bunga wora-wari bang
yang jadi pagar pembatas antar pekarangan penduduk desa. Mungkin daun
ini terpilih karena sifatnya yang lentur dan halus permukaannya, juga
tahan layu seharian. Itu perkiraan saja, saya tak yakin apa yang ada
dalam benak kami waktu menyepakatinya sebagai alat tukar. Lembar daun
ukuran kecil bernominal kecil, yang paling besar (agak langka dan banyak
diburu) bernominal besar. Mereka juga menjual ikan dari lapisan batang
pisang yang diiris bentuk ikan, di samping juga perhisan kalung dari
batang daun ketela pohon dan mahkota dari daun nangka. Tak pernah saya
sangka, pasar masa kecil ini benar-benar diwujudkan oleh orang-orang
kreatif di Temanggung!
Kebun bambu |
Kebun bambu siap disulap jadi pasar. |
Pasar Papringan Temanggung
Pasar ini dibangun di Banaran, Kelingan, Desa Caruban, Kecamatan
Kandangan, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah, dan baru dibuka pertama
kalinya untuk umum baru pada hari Minggu, 10 Januari 2016 kemarin.
Menyewa 1.600 m2 milik tiga orang warga, penggagasnya mewujudkan konsep
Pasar Papringan yang berlokasi di tengah kebun bambu, mungkin pertama di
dunia. Harapannya, jika sudah stabil ke depan pemilik lapak yang ada di
sana akan meneruskan sewanya.
Trasah dan Trisik, Dua Kearifan Lokal yang dipadu dengan Kekuatan Alam Kebun Bambu
Selain memanfaatkan kekuatan alam kebun bambu, Pasar Papringan kembali
menerapkan kearifan lokal yang sudah banyak ditinggalkan, trasah dan
trisik. Dua kosakata yang hampir hilang dari memori saya ini diangkat
kembali untuk membangun Pasar Papringan ini. Trasah adalah lantai yang
tersusun dari batu-batu. Mengambil bidangnya yang paling rata sebagai
permukaan lantai, kita susun batu-batu itu di dalam tanah (paved stone).
Lantai trasah adalah kompromi kebutuhan manusia dengan alam. Manusia
butuh jalan yang tidak becek, tetapi berharap alam tetap dapat menyerap
air dengan baik. Trasah solusinya. Maka dibuatlah jalan-jalan dan
selokan Pasar Papringan dengan desain trasah, satu kearifan lokal yang
telah dilakukan oleh para penduduk desa, jauh sebelum beton berdaya
serap air ditemukan.
Satu lagi adalah trisik, pagar sederhana yang terbuat dari bilahan-bilahan bambu kecil yang ditancapkan di tanah membantuk anyaman saling silang (anjang-anjang). Karya sederhana ini adalah salah satu kearifan lokal yang tercipta dari desa. Jika orang luar negeri sana punya "keep off the grass" atau "no trespassing"
dengan pagar berduri yang tinggi, penduduk desa punya trisik yang hanya
sebatas lutut hingga pinggang untuk menandai area tertentu. Jika
penduduk desa melihatnya, mereka semua sudah paham bahwa area tersebut
tidak boleh dilintasi.
Proses pembuatan trasah untuk area Pasar Papringan |
Trasah dan trisik, dua kearifan lokal yang diterapkan di Pasar Papringan demi revitalisasi desa Caruban. |
Diguyur hujan deras, drainase Pasar Papringan berfungsi dengan baik. |
Pasar Papringan, Kembali Harmonis dengan Alam demi Revitalisasi Desa. |
Mata Uang Khusus Pasar Papringan
Keunikan Pasar Papringan yang lain adalah memiliki alat tukar
tersendiri. Mata uangnya adalah Pring, berbentuk koin yang didesain dari
bambu dengan nominal tertentu. Nilai tukar Pring adalah 1 Pring sama
dengan 1000 rupiah.
Mata uang pring dipakai sebagai alat tukar di Pasar Papringan. |
Siapa Penggagas Pasar Papringan Temanggung
Inisiatornya adalah Spedagi. Spedagi berasal dari kata ‘sepeda pagi’. Komunitas ini berawal dari kegiatan
bersepeda bersama keluarga di jalan pedesaan yang dilakukan oleh
Singgih S. Kartono, seorang alumnus Desain Produk ITB yang terkenal dengan produk Magno-nya.
Tak disangkanya, kegiatan yang awalnya hanya untuk membakar kolesterol
ini menuntunnya menemukan cara unik dalam memberdayakan desanya.
Singgih S. Kartono, desainer dan founder Spedagi |
Kegiatan bersepedanya ternyata menarik masyarakat kota ataupun
masyarakat
dari luar negeri untuk datang ke desa, terutama ketika dia kemudian
mengembangkan sepeda bambu Spedagi. Singgih melihat
kegiatan tersebut berpotensi untuk dikembangkan menjadi kegiatan wisata
sepeda. Spedagi
kemudia dia konsep menjadi ikon komunitas wisata sepeda yang mandiri dan
lestari untuk revitalisasi desa, mengajak masyarakat kembali ke desa
dan membangunannya demi kehidupan bumi yang berkelanjutan.
Singgih tidak ingin para pendatang ini hanya ‘menikmati’ desa, namun
mereka ikut juga menyumbangkan tenaga dan pikirannya sehingga desa mampu
berkembang sesuai dengan potensi besar yang dimilikinya.
Dari tanggal 16
Maret sampai dengan tanggal 21 Maret 2014, Spedagi bekerja sama dengan
International Conference of Design for Sustainability dari Jepang menyelenggarakan The 1st International Conference on Village
Revitalization. Kegiatan yang berlokasi di kebun bambu yang kini
menjadi Pasar Papringan itu mengambil tema "Saatnya Kembali ke Desa",
meliputi ekskursi, diskusi, workshop,
presentasi, seminar dan bike tour dengan sepeda bambu dan menginap di
homestay unik. Singgih yakin keunikan
sepeda bambu, keindahan alam desa, dan kenangan akan desa sesungguhnya
adalah “magnet besar" yang bisa menarik orang untuk datang kembali ke
desa. Dari situlah akhirnya konsep Pasar Papringan ini terbit dan mendapat sambutan hangat dari masyarakat seperti terlihat di fan page Pasar Papringan.
Pasar Papringan ini buka setiap Minggu Wage (jatuh 35 hari sekali). Maka untuk jadwal selanjutnya Pasar akan buka kali keduanya jatuh pada tanggal 14 Februari 2016, dan ketiganya pada 20 Maret 2016. Selama tidak digunakan untuk kegiatan pasar, kebun bambu yang ruang-ruang di antaranya diolah supaya dapat menjadi area publik yang mendukung berbagai kegiatan masyarakat desa. Harapannya, masyarakat desa tidak lagi menganggap papringan sebagai tempat yang gelap, lembab, dan kotor, tapi tempat yang bersih dan nyaman digunakan untuk berbagai aktivitas desa sehari-hari.
Anda dapat menghubungi Pasar Papringan di nomor kontak: 0852-2819-8669
sumber : http://www.tukarcerita.com/2016/01/pasar-papringan-kebun-bambu-disulap.html
UNIKNYA PASAR PAPRINGAN TEMANGGUNG
4/
5
Oleh
Kerep Ngampon
Untuk menyisipkan kode pendek, gunakan <i rel="code"> ... KODE ... </i>
Untuk menyisipkan kode panjang, gunakan <i rel="pre"> ... KODE ... </i>
Untuk menyisipkan gambar, gunakan <i rel="image"> ... URL GAMBAR ... </i>